Diantara bacaan Gharib qira’ah ‘Ashim riwayat Hafsh ialah ;
1. Saktah
Secara bahasa saktah berasal dari kata سكت – يسكت – سكوتا yang berarti diam; tidak bergerak, atau bisa juga bermakna المنع (mencegah). Sedangkan menurut istilah; قطع الكلمة من غير تنفس بنية القراءة (memutus kata sambil menahan nafas dengan niat meneruskan bacaan).
Dalam Qira’at Sab’ah bacaan saktah banyak dijumpai pada Qira’ah Imam Hamzah (baik dari riwayat khalaf maupun khalaf), yaitu setiap ada hamzah qatha’ yang didahului tanwin atau al ta’rif, seperti بالآخرة، عذاب أليم .
Sedangkan dalam Qira’ah Imam Ashim riwayat Hafsh, bacaan saktah dalam al-Qur’an hanya ada di empat tempat, yaitu:
Secara bahasa saktah berasal dari kata سكت – يسكت – سكوتا yang berarti diam; tidak bergerak, atau bisa juga bermakna المنع (mencegah). Sedangkan menurut istilah; قطع الكلمة من غير تنفس بنية القراءة (memutus kata sambil menahan nafas dengan niat meneruskan bacaan).
Dalam Qira’at Sab’ah bacaan saktah banyak dijumpai pada Qira’ah Imam Hamzah (baik dari riwayat khalaf maupun khalaf), yaitu setiap ada hamzah qatha’ yang didahului tanwin atau al ta’rif, seperti بالآخرة، عذاب أليم .
Sedangkan dalam Qira’ah Imam Ashim riwayat Hafsh, bacaan saktah dalam al-Qur’an hanya ada di empat tempat, yaitu:
o Pada alif gantian dari tanwin yang terdapat pada lafazh عوجا dalam surat al Kahfi ayat 1-2,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجَا (1) قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا (2).
” Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al kitab (Al-Quran) dan Dia tidak Mengadakan kebengkokan di dalamnya. Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik,”.
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجَا (1) قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا (2).
” Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al kitab (Al-Quran) dan Dia tidak Mengadakan kebengkokan di dalamnya. Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik,”.
Adapun alasan diterapkan bacaan saktah disini ialah agar tidak terjadi kesalahan makna ayat, artinya hal ini agar tidak mengesankan bahwa lafazh قَيِّمًا adalah sifat/na’at bagi lafazhعوجا , sebab al ‘Iwaj (kebengkokan) itu bukanlah Qoyyiman (lurus).
o Pada alif yang terdapat pada kalimah مَرْقَدِنَا dalam surat Yasin ayat 52,
قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ (٥٢)
” Mereka berkata: “Aduhai celakalah kami! siapakah yang membangkitkan Kami dari tempat-tidur Kami (kubur)?”. Inilah yang dijanjikan (tuhan) yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul- rasul(Nya).”
Apabila washol, berhenti sejenak pada lafazh مَرْقَدِنَا (marqodina) kira-kira satu alif tanpa bernafas, kemudian melanjutkan…. هَذَا.
قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ (٥٢)
” Mereka berkata: “Aduhai celakalah kami! siapakah yang membangkitkan Kami dari tempat-tidur Kami (kubur)?”. Inilah yang dijanjikan (tuhan) yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul- rasul(Nya).”
Apabila washol, berhenti sejenak pada lafazh مَرْقَدِنَا (marqodina) kira-kira satu alif tanpa bernafas, kemudian melanjutkan…. هَذَا.
Alasan bacaan saktah pada ayat ini ialah menjelaskan bahwa kata هذا bukan sifat dari مرقد , melainkan ia menjadi mubtada’ dan agar tidak terjadi kesalahan pemahaman pada makna dari ayat diatas.
Pada ayat ini perkataan orang kafir selesai pada lafazh مَرْقَدِنَا, dan lafazh…. هَذَا adalah perkataan malaikat. Pada dua tempat ini seorang Qori’ diperbolehkan memilih, waqof pada kalimah yang pertama, maka tidak ada hukum saktah dan Ibtida’ dengan kalimah setelahnya atau membaca washol kalimah yang pertama dengan kalimah berikutnya, tidak waqof, maka diharuskan menerapkan bacaan saktah.
Pada ayat ini perkataan orang kafir selesai pada lafazh مَرْقَدِنَا, dan lafazh…. هَذَا adalah perkataan malaikat. Pada dua tempat ini seorang Qori’ diperbolehkan memilih, waqof pada kalimah yang pertama, maka tidak ada hukum saktah dan Ibtida’ dengan kalimah setelahnya atau membaca washol kalimah yang pertama dengan kalimah berikutnya, tidak waqof, maka diharuskan menerapkan bacaan saktah.
o Pada Nun-nya lafazh مَنْ dalam surat al Qiyamah ayat 27 “ وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ “.
o Pada Lam-nya lafazh بَلْ dalam surat al Muthoffifin ayat 14 ;
كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (١٤)
كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (١٤)
Pada dua tempat ini harus diterapkan bacaan saktah, karena tidak diperbolehkan waqof pada dua tempat tersebut, artinya tidak boleh waqof pada lafazh مَنْ dan lafazh بَلْ kemudian Ibtida’ pada lafazh رَاقٍ dan lafazh رَانَ, jadi harus dibaca washol مَنْ رَاقٍ dan بَلْ رَانَ dengan menerapkan hukum saktah.
Sedangkan alasan bacaan saktah pada dua ayat ini ialah, untuk menekankan fungsi من sebagai kata tanya dan fungsi بل sebagai kata penegas, selain itu juga untuk memperjelas izhhar-nya lam dan nun karena biasanya dua huruf tersebut bila bertemu ra’ di-idgham-kan sehingga bunyi keduanya hilang dan nantinya menjadi serupa dengan bentuk Mudho’af (مضاعف).
Selain empat tempat di atas, sebetulnya ada dua lagi saktah umum yang diikuti oleh Imam Ashim, yaitu pertemuan antara surat Antara surat al Anfal dan surat at Tawbah pada Mim-nya lafazh عَلِيمٌ, pertemuan dua ha’ pada kalimat (dalam surat al-Haqqah, 28-29): مَآ أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ (28) هَّلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ . Hanya saja, saktah pada Mim-nya lafazh عَلِيمٌ ini sebenarnya satu diantara tiga alternatif bacaan yang disepakati oleh semua imam qiraat, yaitu washal, saktah dan waqaf dan pada surat al-Haqqah sebenarnya satu diantara dua alternatif bacaan, yaitu Idghom dan saktah.wallahu a'lam... bersambung
Sedangkan alasan bacaan saktah pada dua ayat ini ialah, untuk menekankan fungsi من sebagai kata tanya dan fungsi بل sebagai kata penegas, selain itu juga untuk memperjelas izhhar-nya lam dan nun karena biasanya dua huruf tersebut bila bertemu ra’ di-idgham-kan sehingga bunyi keduanya hilang dan nantinya menjadi serupa dengan bentuk Mudho’af (مضاعف).
Selain empat tempat di atas, sebetulnya ada dua lagi saktah umum yang diikuti oleh Imam Ashim, yaitu pertemuan antara surat Antara surat al Anfal dan surat at Tawbah pada Mim-nya lafazh عَلِيمٌ, pertemuan dua ha’ pada kalimat (dalam surat al-Haqqah, 28-29): مَآ أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ (28) هَّلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ . Hanya saja, saktah pada Mim-nya lafazh عَلِيمٌ ini sebenarnya satu diantara tiga alternatif bacaan yang disepakati oleh semua imam qiraat, yaitu washal, saktah dan waqaf dan pada surat al-Haqqah sebenarnya satu diantara dua alternatif bacaan, yaitu Idghom dan saktah.wallahu a'lam... bersambung